
Orang-orang di gang itu, bahkan sekampung menyebutnya rumah angker itu sebagai rumah hantu. Beberapa orang pernah menjumpai hantu yang sedang santai atau iseng menggoda manusia. Pak Hasan misalnya, saat ronda malam, ia mengaku pernah menjumpai pocongan yang akan menghadangnya, untung dia bisa lari walau sempat terjatuh dua kali.
Dan, yang menimpa Robin lain lagi. Ini sungguh hantu yang suka begadang. Rumah Robin hanya terpaut tiga dari rumah hantu itu. Suatu saat di siang bolong ia mencari petai di halaman belakang rumah itu. Bulu kuduk Robin sebetulnya sudah bergidik dan pada berdiri, tapi ia beranikan juga, sebab ia setengah tak percaya dengan cerita hantu yang tersebar di masyarakat, apalagi di siang bolong. Tapi saat Robin asyik memetik petai, tiba-tiba ada tangan yang mencekal pergelangan kakinya. kontan saja ia ambil langkah seribu.
Kini ada orang dengan tampang kusut dan pakaian dekil memandangi rumah hantu itu. Ia sudah menjadi perhatian orang sejak mulai masuk pintu gerbang kampung tadi.Tapi perhatian itu diberikan dari belakang, saat berpapasan mereka semua menghindar. Ia masuk halaman rumah hantu itu, tapi tak jadi. Langkahnya berhenti ketika tinggal sejengkal saja ia sudah mencapai halamannya. Tatapan matanya yang terhalang oleh tumbuh-tumbuhan yang tinggi, tetap saja menatap dengan sorot yang sulit diterka. Tiba-tiba ia menunduk, terduduk, dan bersandar di pagar temboknya. Otaknya berputar ke masa lalu, saat itu dialah penghuni rumah itu dengan istri dan seorang anaknya.
Rumah itu dulu memang ceria. Ia sekeluarga tiap hari selalu menghiasinya dengan tawa. Namun, Tuhan memupus keceriaan itu dengan begitu saja pada hari yang nahas itu. Hari itu dia khilaf, bertengkar dengan istrinya gara-gara kesalahpahaman masalah usahanya yang sudah mulai menanjak maju.
Sebetulnya, pertengkaran itu hanya kecil dan lumrah. Dan, iapun tak menuruti arus pertengkaran dengan segera meninggalkan rumah untuk mencuci otaknya yang ruwet. Tapi begitu pulang, ia betul-betul tak bisa menguasai dirinya ketika melihat istrinya bersimbah darah di lantai dalam, dan sebuah pisau tertancap di punggungnya.
la berteriak histeris sambil mencabut pisau yang menancap di punggung istrinya itu. Tetangganya berdatangan ketika ia terduduk lemas sambil masih tetap memegangi pisau yang baru dicabutnya.
la betul-betul diuji Tuhan, sebab akhirnya masyarakat menuduh ia yang membunuh istrinya. Seterusnya tuduhan yang disampaikan oleh jaksa dan kesaksian yang diberikan oleh tetangga-tetangganya sangat meyakinkan, hingga hakim akhirnya memvonis lima belas tahun penjara. Karena kelakuannya baik, ia beberapa kali mendapat remisi sampai ia hanya menjalani sembilan tahun.
Kenyataan yang paling menyakitkan dari peristiwa itu adalah Lucia, anaknya sependapat dengan masyarakat. Ikut menuduh bapaknya sebagai pembunuh ibunya. Saat kejadian ia memang berada di sekolah, tapi ia percaya begitu saja dengan masyarakat. Selama ia di Lembaga Pemasyarakatan, Lucia tidak pernah sekalipun menjenguknya. Sungguh pahit kenyataan yang ia hadapi.
Ia dengan lesu meninggalkan rumahnya, menuju rumah Purwandi, sahabat karibnya yang tidak ikut-ikutan menjadi saksi perkara yang menjebloskan dirinya itu. Di hati kecilnya masih ada harapan bahwa sahabatnya yang satu ini masih sudi membantu dirinya. Selama sembilan tahun Purwandi ada lima belas kali menjenguknya.
la terus melangkah menuju rumah Purwandi yang ada di gang sebelah, dengan diikuti beberapa pasang mata dari celah- celah pintu dan jendela.
Nasibnya sedang mujur. Siang itu Purwandi sedang istirahat. Benar dugaannya, ia diterima dengan baik. setelah cukup melepas rindu. Purwandi mempersilahkan temannya yang kusut itu untuk mandi, kemudian tiga stel pakaian ia siapkan. "Malam nanti tidur di sini saja, kau!" kata Purwandi pada waktu makan siang bersama. Aku sudah rindu dengan rumahku.
"Sekarang istirahat saja kau, esok kita bersihkan rumahmu."
Purwandi ingin menyampaikan isu yang beredar di masyarakat tentang keberadaan hantu di rumahnya, tapi ia tahan, takut menyinggung perasaan temannya yang masih goncang jiwanya.
"Lucia dimana?"
"Ia di rumah Pak Nunuk, tapi siang begini ia kerja dan baru pulang pukul enam petang."
"Oh, kasihan dia."
"Dia kutawari tinggal di sini dan kusekolahkan, tapi ia menolak. Aku tak mengerti dengan sikapnya."
Malamnya Purwandi terpaksa menceritakan tentang isu masyarakat mengenai rumahnya yang kini dijuluki rumah hantu. Di luar dugaan, temannya yang mau tidur itu malah ke rumahnya malam itu juga.
"Aku tak percaya kalau istriku jadi hantu atau rumahku jadi rumah hantu. Aku pindah tidur ke sana sekarang."
"Besok saja!"
"Aku penasaran."
Purwandi tak mampu mencegah. Ia akhirnya membiarkan temannya pergi. Ia malah memberitahu kalau jendela muka selalu terbuka dan membekalinya dengan sebuah senter.
Orang malang itu menuju rumahnya. Ketika melewati rumah Rasyid, ada rasa dendam terungkit. Ya, ia ingat betul, Rasyid lah yang paling getol memberi kesaksian yang meyakinkan hakim.
Oh nasib, rupanya selama ia menjalani hukuman, Rasyid bernasib kebalikannya. Hal ini jelas, rumahnya yang dulu dekil kini berubah menjadi megah.
Orang itu melirik rumah Rasyid dari celah pagarnya yang tinggi, tapi sekaligus berusaha meredam dendamnya. Sebab, ia tak mau lagi jadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan untuk yang kedua kalinya. Dan lagi. mungkin Rasyid memberi kesaksian dalam keyakinannya.
Sampai di rumahnya, ia tanpa canggung dan takut langsung masuk lewat jendela depan. Suasana memang gelap menyeramkan. la berkali-kali menyandung perabotan rumah tangga yang letaknya semrawut. Ia baru memakai senter ketika mulai memeriksa kamar. Sampai di kamar tengah, suasana betul-betul seram, sudah tiga kali ia disambar hewan kecil. Mungkin kelelawar. Tapi, sampai di dapur, hantu yang di isukan masyarakat itu tak muncul.
Ia kemudian menuju kamar mandi. Namun, ia disentakkan oleh sesuatu benda yang menjerat dirinya kuat-kuat sebelum masuk ke kamar mandi.
Kau tidak percaya kalau rumah ini ada hantunya. Kau akan menjadi korban kedua hantu penunggu rumah ini," suara itu jelas ia kenal, dan segera mendatangkan kesimpulan bahwa pemilik suara itulah yang membunuh istrinya, korban-korban pertama rumah ini.
Ia menggerakkan sikut kanannya dengan keras dan tepat mengenai rusuk kanan orang yang mengaku hantu, hingga membuat tangan kanan hantu yang menarik tali terlepas. sebentar saja pertarungan dalam gelap terjadi, namun belum begitu lama terjadi, seseorang telah datang dan ikut menyerang hantu penyergap, "Sakti, aku Purwandi membantumu."
Duel dua lawan satu itu tidak berjalan lama. Hantu penunggu rumah Sakti dapat diringkus. Nyaris Sakti membunuhnya kalau tidak dicegah Purwandi.
"Sakti, jangan dibunuh! Cukup kita hajar sampai lumpuh" Tak seberapa lama masyarakat sudah berkumpul di depan rumah hantu itu. Mereka mengerumuni hantu yang tertangkap.
"Rasyid, Jadi kau yang selama ini menjadi hantu?" tanya Purwandi. Rasyid menunduk malu tak menjawab.
"Rasyid, siapa yang membunuh istriku? Kalau tidak mengaku, kubunuh kau!" Sakti mencengkeram krah baju Rasyid dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya mengangkat kayu yang cukup besar.
"Yah, aku yang membunuh istrimu," suara Rasyid sangat lirih, namun karena semua orang terdiam pengakuan itu menjadi jelas.
Setelah Rasyid dibawa ke kantor polisi, masyarakat pulang dengan mengantongi pertanyaan di benaknya masing-masing. Untuk apa Rasyid membunuh istri Sakti? Dan untuk apa pula ia menjadi hantu di rumah itu? Sampai tidur mereka tetap tidak tahu.
Esoknya Purwandi dan Sakti akan membersihkan rumah hantu itu. "sakti, ini kan sarang burung wallet," kata Purwandi sembari melihat sarang burung yang menempel di sudut-sudut atap gelap.
"MasyaAllah, inikah latar belakang Rasyid membunuh istriku dan menjadi hantu di rumah ini."
"Tapi waktu istrimu terbunuh, belum ada sarang-sarang-ini?"
"Ya, tapi gudang belakang sudah kukosongkan lima tahun sebelumnya. Ayo kita lihat!" lalu mereka menuju ke gudang.
"Ya Allah, sungguh terkutuk kau Rasyid. Kau keruk harta karun dari rumahku, tapi kau biarkan anakku sengsara," kutuk Sakti pada Rasyid dengan mata berkaca-kaca menyaksikan sarang burung walet yang sangat banyak di gudangnya.
Beberapa ekor burung kecil yang air Iiurnya sama dengan logam mulia, menyambar-nyamber Sakti dan Purwandi, barangkali mereka mengenalkan diri dengan tuan barunya.
Oleh : Restoe Prawironegoro
majalah misteri majalah misteri cerita misteri kisah misteri majalah misteri cerita misteri kisah misteri