
Soal menyedot harta gaib, tidak akan mungkin kami ceritakan kepada siapapun. Apalagi hanya kepada Pak Babak pemilik rumah makan sea food itu. Semua itu menjadi rahasia dan tertutup rapat. Kami katakan saja bahwa kami hanya sedang mencari lokasi pertambangan batubara.
Setelah sholat Isya berjemaah, sepulang dari restoran, kami naik mobil kijang innova sewaan ke lokasi danau. Danau satu angsa hanya berjarak lima kilometer dari rumah sewaan dan kami membawa alat-alat, seperti tenda. kampak, cangkul, minyak parfum elisabeth arden, madat Turki, kemenyan Arab dan banyak lagi ragat untuk memanggil jin.
Kata Mbah Jarot, jin penjaga emas batangan peninggalan keluarga China itu adalah emas gaib yang sudah dikuasai oleh Jin Jambrong dengan seratus anak buahnya. Berarti semua jin yanga ada di situ berjumlah 101 jin, termasuk Raja Jambrong yang menguasai mereka.
"Jambrong harus dipanggil dengan ragat- ragat yang kita bawa dan dia harus memberikan ijin kepada kita mengangkat harta gaib yang dijaganya itu," kata Mbah Jarot, menjawab pertanyaan ku, saat aku kepengen tahu, siapa saja jin yang ada di danau cantik tersebut.
Semakin malam udara di danau semakin dingin. Kilat beberapa kali melesat di udara dan menerangi lokasi kami di pinggir danau. Beberapa saat kemudian, geluduk bergemuruh dengan ditingkahi beberapa kali petir. Jantungku berdetak hebat tatkala dari dalam air, muncul ke permukaan, ratusan bocah berkepala botak.
"Mereka keluar, tapi rajanya belum muncul," teriak Mbah Jarot.
Semua makhluk berkepala botak itu ternyata jin-jin anak buah Raja Jambrong. Jambrong melarang ratusan anak buah berambut panjang seperti dirinya. Untuk itu. semua harus kepala botak karena mereka adalah budak budak gaib asuhan Raja Jambrong yang gondrong.
Mbah Jarot lalu menggunakan bahasa jin untuk memanggil mereka. Ratusan jin botak itu naik ke darat, mereka berenang ke tepian dan sujud kepada Mbah Jarot. Mbah Jarot memang orang sakti mandraguna, seorang linuwih yang mampu menaklukkan semua makhluk halus, baik itu jin, genderuwo, kuntilanak maupun para tuyul.
Setelah berkumpul seratus jin kepala botak, Mbah membakar lagi madat dan berkomat kamit memanggil Raja Jambrong. Puluk 24.00, tengah malam, Jin Jambrong keluar. Jantungku makin berguncang hebat setelah melihat tubuh Jambrong keluar dari dasar danau, yang bertubuh besar dan jangkung. Tubuhnya setinggi pohon angsana dan badannya lebar hampir selebar separuh danau.
Mbah Jambrong memanggil semua anak buahnya dan menyuruh masuk ke danau. Ratusan jin kepala botak itu lalu menceburkan diri ke danau dan mereka masuk ke dasar danau secara gaib. Mbah Jambrong nampak tidak menerima kehadiran kami dan dia meminta kami pergi. Dia menantang perang melawan Mbah Jarot dan Mbah Jarot tidak mau meladeni.
"Jika kita perang, saya tidak akan mendapatkan apa-apa. Sementara kami membutuhkan emas batangan yang kamu kuasai, milik Tan Jin Huang yang sudah lama meninggal dunia. Berikan emas itu kepada kami, untuk kepentingan umat," pinta Mbah Jarot kepada Mbah Jambrong. dengan nada damai.
"Kami baru akan pergi jika emas itu diberikan kepada kami," tambah Mbah Jarot lagi.
Arkian, ternyata Raja Jambrong hanya memberikan sebagian dari emas gaib itu. Dari ratusan batang emas, Mbah Jarot hanya diberi enam batang, sesuai dengan jumlah kami. berenam. Setelah dimasukkan ke dalam karung gandum, emas itu aku angkut ke dalam mobil kijang innova yang tidak begitu jauh di parkir dekat danau.
Besoknya, emas itu dibawa ke Jakarta dan dijual ke logam mulia. Setelah menjadi uang, uang itu disumbangkan sebagian besar ke panti-panti. Ada ke panti jompo, panti asuhan dan orang orang miskin bantaran kali. Belakangan, Herman minta Mbah Jarot kembali ke Sanga Sanga untuk mengambil sisa puluhan emas batangan warisan gaib Tan Jin Huang itu. Namun Mbah Jarot menolak.
"Tidak akan berhasil. Raja Jambrong tidak akan memberikan sisa emas itu dan akan dikuasainya sampai hari kiamat. Jika kita memaksa, kita akan perang melawan kelompok Jambrong dan kita akan kalah," tutup Mbah Jambrong, sambil menghisap rokok kemenyan tebal di tangannya.
Oleh : Tia Aweni D. Paramitha