Entah harus dari mana aku memulai kisah ini, yang hingga sekarang masih menjadi bagian dari cerita kelamku. Semua rentetan kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidupku, benar-benar di luar nalar dan kekuasaanku. Bahkan seakan-akan memaksaku, mau tidak mau harus percaya dan menjalani sendiri, yang menurut physiater peristiwa ini telah melenyapkan Sepertiga memori ingatanku. Hingga saat ini, aku tidak tahu apa dan bagaimana masa kecilku.
Semua kejadian ini menurut orang tuaku, berawal sejak aku masih duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar. Semua yang aku perbuat nyaris di luar kekuasaanku. Seolah-olah ada satu kekuatan yang mengendalikanku dan hal ini terus berlanjut sampai aku menginjak bangku kuliah pada semester akhir disebuah universitas swasta di Bandung. Aku merupakan anak bungsu dari keluarga lima bersaudara, di antara saudaraku yang semuanya perempuan.
Dengan pertimbangan agar aku bisa lebih tenang belajar, menginjak bangku SMA orang tuaku memilihku untuk sekolah di salah satu pondok pesantren terkenal di Garut. Berada di kota dengan udara sejuk, dan kaya dengan produksi pertanian. Aku merasa bebas karena jauh dari pengawasan orang tua, kendati hampir setiap akhir pekan aku dijenguk kedua orang tuaku.
Di luar kendali diriku, aku mulai bertindak sesuka hati, karena tidak ada yang berani melarang. Pertama kali aku masuk di pesantren, aku mulai berurusan dengan kakak kelas karena teman wanita yang diliriknya malahan berbalik melirik padaku. Perkelahian pun tidak bisa dihindari. Aku dikeroyok enam orang teman kelasnya, tapi anehnya dengan sangta mudah aku menjatuhkan semuanya.
Sejak saat itu aku merasa diriku jagoan, dan tak ada yang berani menentangku. Hari demi hari yang aku lalui di ponpes sangatlah membanggakanku, karena hampir setengah santri dengan mudah bisa aku kuasai. Akhirnya satu demi satu para ustadz pun mengundurkan diri mengajar di kelasku. Semua yang aku lakukan, benar-benar di luar kendali dan jalan pikiran saya seakan dikendalikan oleh sebuah remote control.
Di ponpes pun aku tidak bertahan lama. Kurang dari setahun aku sudah kabur dan bergabung dengan teman lamaku, sebut saja namanya Deni. Dengan dia aku merasa lebih leluasa untuk berbuat lebih jauh, narkoba dan perkelahian menjadi santapanku sehari-hari. Sampai suatu saat semua ini tercium oleh keluargaku, kakakku memergoki pada saat aku sedang mabuk, dan hari-hari berikutnya aku disekap di dalam rumah.
Tiba pada suatu hari, saat malam Jumat Kliwon, menjelang tengah malam seolah-olah ada suatu kekuatan yang mengajakku untuk keluar paviliun. Bersamaan dengan itu, terdengar sayup sayup ada suara derap kaki kuda, yang ditingkahi gemerincing suara kereta yang datangnya dari langit. Suara itu semakin lama semakin jelas mendekat.
Ternyata dugaanku tidak meleset, memang suara yang datang itu berasal dari sebuah kereta kerajaan yang di depannya dikawal sepasukan pengawal berpakaian busana kerajaan tempo dulu. Tapi ada sesuatu yang ganjil, raja dan para punggawanya pun sama tanpa kepala. Yang tampak hanya bagian tubuhnya hingga kaki dengan busana kerajaan lengkap. Melihat semua ini nyaris aku pingsan, karena seumur hidup baru pertama kali melihat mahluk seperti itu.
"Jangan takut, Ngger, aku sengaja datang dari negeri Atas Angin hanya untuk menyerahkan kulit harimau kumbang yang di baliknya bertuliskan hurup Sunda kuno," kata dia.
Aku sendiri tidak mengerti, apa artinya tulisan pada kulit itu. Namun yang jelas kulit itu disuruh dibakar dan abunya dijadikan kopi untuk diminum. Aku tidak kuasa untuk menolaknya. Apa yang diperintahkan semuanya kuturuti. Sejak kejadian itu kehiclupanku rasanya makin tidak karuan, malahan aku hampir tidak ingat apa-apa yang aku perbuat.
Dalam dadaku selalu haus ingin mencari lawan untuk diajak berkelahi, yang dengan alasan sepele saja aku bisa memukuli orang. Sudah tidak terhitung perkelahian ku lakukan, demi memuaskan hawa nafsuku. Aku baru tersadar, setelah berada dirumah dalam keadaan muka lebam-lebam dan baju yang aku pakain robek. (Bersambung)
Oleh : Risyana Hendrawan Lanjut Ke Bagian-2