Tiga Kali Nyawaku Nyaris Direnggut Iblis (2)


Kesulitan hidupku lainnya ternyata sudah menungguku. Pertengahan tahun 96 secara tiba-tiba saja aku kerasukan. Selama lima hari kesadaranku hilang, dan selama itu pula badanku memperlihatkan hal yang aneh Tubuhku meliuk-liuk dan mendesis seperti ular disertai gerakan tanganku menjulur ke depan persis meyerupai ular cobra.

Pada saat kejadian itu, ayahku sedang tidak berada di rumah bertugas ke luar kota. Otomatis yang tinggal hanya ibu dan kakakku yang kesemuanya perempuan, dan mereka panik tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kejadian ini. Baru pada hari ke empat ayahku pulang, tetapi keadaanku sudah sangat parah, nyawaku rasanya sudah berada di tenggorokan.

Saat itu aku merasakan bagian atas kepalaku sakit mungkin karena nyawaku dipaksa keluar oleh iblis yang merasuki badanku. Antara setengah sadar dan tidak, aku melihat bayangan kakek, dan nenekku, juga orang berjubah putih dan berpakaian layaknya seorang wali duduk berjejer samhil meratapi keadaan ku.

"Allahu Akbar," kata ayahku yang sekonyong datang, disambut tangisan keluarga dan kerabatku yang sudah berkumpul di depan tubuhku yang terbujur kaku. Ayahku kaget begitu melihat keadaanku yang sudah dalam keadaan tak berdaya. Nyawaku benar-benar sudah berada diujung tanduk. Suasana semakin mencekam, ditingkahi kakak dan ibuku dan saudara lainnya pada menangis sambil membacakan, ayat-ayat Allah.

Tanpa membuang waktu, ayahku mengucapkan beberapa kalimah Allah, dan pada detik itu pula iblis yang merasuki ragaku langsung terlempar jauh. Begitu sadar, aku langsung memeluk ayahku sambil menangis,

"Itu... itu! Setannya ada di situ!" jeritku sambil menunjuk ke arah kursi.
"Mana? Di sebelah mana?" tanya ayahku sambil melayangkan angkinnya (sabuk berajah) warisan kakekku.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama, tiba-tiba ular siluman itu sudah bertengger di atas kursi, wujudnya sangat mengerikan ukurannya sangat pendek sekitar satu meter. Di atas kepalanya berambut seperti rambut kuda, berwarna-warni dan bergerak gerak seperti tertiup angin. Diatas kepalanya bertengger sebuah mahkota emas, yang menandakan kalau dia adalah seorang raja.

Dia tersenyum menyeringai, sambil memperlihatkan giginya yang sangat runcing dan berlendir hijau, makin komplitlah kesangaran tampangnya. Dalam hitungan detik, dia masuk lagi kedalam ragaku lewat ibu jari kakiku sebelah kiri. Dalam keadaan kalut, ayahku membawaku pada orang pintar yang rumahnya lumayan jauh dari rumahku. Selama perjalanan menuju orang pintar itu, aku sendiri tidak pernah berhenti meliuk-liuk sambil terus meracau tidak karuan.

Sesampainya ditujuan kami tidak langsung masuk dan diobati, tapi sempat menunggu karena orang pintar yang bernama Pak Ara itu sedang ada pasien . Di ruang tunggupun, tingkah laku aku saat itu tidak pernah diam hingga membuat para pasien ketakutan. Mungkin karena indra keenamnya cukup tajam, Pak Ara bergegas keluar dari tempat prakteknya dan langsung menangani aku yang kala itu hampir mengamuk.

Tanpa banyak basa-basi, Pak Ara langsung menangani aku. Sambil membacakan mantra, beliau mengambil Qur'an Istambul (Qur'an kecil), dan menempelkannya di punggungku. Hari itu Allah memperlihatkan kekuasaannya padaku, sewaktu beliau menempelkan Qur'an kecilnya itu beberapa detik kemudian dari paha sebelah kiri keluar ular kecil sebesar kelingking bayi berwarna hitam, dan diatas kepalanya ada huruf "V" berwarna merah.

Ular itu terlihat begitu liar dan mencoba kabur, tapi dengan sigap Pak Ara mengambil sebilah keris dan menyabetnya beberapa kali. Tapi anehnya ular setan itu tidak mati malahan bertambah liar. Namun setelah membacakan beberapa kalimat Allah lainnya, barulah ular itu mati. Ajaib! Dari tubuhnya yang kecil, keluar darah segar yang cukup banyak. Dengan sikapnya yang tenang, Pak Ara mengambil ular itu dan memasukkannya ke pembakaran arang. Aneh, begitu tubuh ular dimasukkan, apinya langsung membesar seperti disiram bensin.

Beberapa saat setelah kejadian itu, kemudian aku tersadar, barulah beliau menceritakan perihal semua rentetan kejadian tadi. Katanya ada yang mencoba mengirimkan santet Samber Nyawa pada ayahku. Tetapi karena proteksi dibatinnya kuat santet itu terpental dan menyambar sama aku yang kala itu masih polos. Konon katanya, santet itu sudah mengendap dalam tubuhku sekitar enam tahun lebih.

Pengaruh lain dari serangan ini sempat membuat memori di otak kecilku hilang sehingga lupa akan semua catatan masa kecilku termasuk nama teman maupun saudara selama lebih satu tahun. Kami merasa saat itu peristiwa kelam tersebut sudah berakhir. Namun ternyata belum dan masih ada fase kelam lainnya. Kondisi itu terus berlanjut sehingga sangat mengganggu kehidupan, terutama saat aku sudah berkeluarga. Dampak nyata dari semua ini adalah seringnya terjadi percekcokkan antara aku dan istriku karena persoalan sepele.

Selain itu aku juga masih tetap disibukan dengan seringnya kerasukan, entah itu ular siluman atau harimau. Aku sudah sangat lelah dengan semua itu. Aku sudah mencoba dengan berbagai pengobatan termasuk dengan ruqyah, tetapi tetap hasilnya hanya sementara. Setiap ruqyah untuk menghilangkan harimau yang merasuk, mahluk baru akan datang lagi menggantikan harimau yang sudah dibasmi.

Lama kelamaan aku menjadi capek dengan semua ini, karena tidak ada habis-habisnya. Yang terakhir beberapa bulan ke belakang, aku sempat mau menemui ajal yang ketiga kalinya. Saking jengkelnya dengan ulah-ulah makhluk gaib itu, suatu malam aku coba menantang makhluk gaib yang yang tiba-tiba di depan mataku menampakan wujudnya seekor macan kumbang sebesar anak kerbau, dengan taring panjang menyembul dari mulutnya persis seperti binatang purba harimau taring pedang. Tanpa basa-basi dia langsung menerkam aku, dan perkelahianpun tak bisa dihindari.

Mungkin karena perkelahian yang tidak seimbang, atau ilmunya terlalu tinggi aku semakin terdesak. Akhirnya dia mampu menguasaiku dan mencoba mencekikku. Sementara dari dalam ragaku ditambah lagi kedatangan siluman ular kiriman orang yang benci sama ayahku. Ular siluman yang sebesar pohon kelapa masuk ke arena perkelahian menyerangku. Saat itu keadaan jadi tambah parah, ayah yang datang membantu tidak mengubah keadaan. Usianya yang sudah uzur jadi keteter, aku sudah pasrah menghadapi hal ini.

Dalam keadaan terdesak, kakakku meminjam kaset doa-doa ruqyah dari tetangga, dan kaset itu distel keras-keras dalam arena perkelahian. Akhirnya lama-kelamaan setelah mendengar lantunan ayat-ayat suci itu, kedua siluman itupun melemah dan menyerah.



Oleh : Risyana Hendrawan