Suamiku Korban Guna-Guna (1)


Sebenarnya aku tidak rela suamiku kawin lagi. Perempuan manapun di dunia ini rasanya tidak mau dimadu. Rasanya tidak ada seorang perempuan yang sudi berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Apa lagi perempuan yang dinikahi Mas Baskoro, suamiku itu, adalah seorang gadis yang masih muda dan cantik. Tentu saja hal ini akan jadi malapetaka bagi rumah tanggaku. Karena lelaki biasanya akan mengistimewakan istri mudanya.

Sejak pertama kali mas Baskoro mengatakan bahwa dia mau kawin lagi, aku merasa seperti disambar petir di siang bolong mendengarnya. Tubuhku mendadak lemas tak bertenaga. Berbagai perasaan tercampur aduk jadi satu. Rasa marah, sedih, sakit hati dan entah rasa apa lagi, aku tak tahu! Duh. Gusti, apa salahku?

Setahuku selama ini aku tidak pernah mengecewakan suamiku. Aku merasa kalau biduk rumah tangga kami selama ini damai-damai saja. Apalagi usia perkawinan kami yang sudah cukup lama dan dikaruniai dua orang anak yang sudah dewasa. Indra anak sulungku sudah duduk di perguruan tinggi dan Novi, adiknya, baru saja lulus SMU. Sementara diriku sendiri merasa tidak ada kekurangan apapun. Sampai detik ini aku masih setia mengurus dan merawat suamiku baik secara lahir maupun batin. Kenyataan inilah yang membuatku tak habis pikir, mengapa Mas Baskoro jadi tiba-tiba berniat kawin lagi.

"Hayatun itu gadis baik, Tari. Aku akan menikahinya semata-mata demi kemanusiaan. Dia yatim piatu, hidup bersama ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Pak Jasman almarhum, ayah Hayatun, merupakan sahabatku di perusahaan perkayuan di Kalimantan dulu. Kami berpisah karena dia terlibat kasus kriminal Dia harus mendekam di penjara selama 7 tahun karena terlibat kasus penggelapan uang perusahaan dan selepas dari penjara dia sakit-sakitan, hingga akhirnya meninggal dunia," tutur Mas Baskoro panjang lebar.

Sejujurnya, sebenarnya cerita suamiku itu memang menggugah hatiku. Tetapi saat itu aku sama sekali tidak terpengaruh. "Apapun alasan suamiku itu aku tetap tidak bisa menerimanya. Pokoknya aku tak mau dimadu.

Namun entah mengapa akhirnya ketegaranku runtuh. Saat Mas Baskoro membawa gadis itu ke rumah dan memperkenalkan padaku, aku jadi lemah. Wajah gadis itu sangat polos. Penampilannya yang sederhana dan bersahaja membuat aku trenyuh. Dia begitu ramah dan santun ketika bertatap muka denganku dan menyapa dengan lembut. Dia memanggil aku dengan sebutan ibu. Sebutan yang selama ini tidak pernah ku dengar, karena kedua anakku memanggilku mama. Lama aku memandang dirinya. Duh, dia begitu cantik sekali. Pantas kalau Mas Baskoro tertarik padanya.

"Bapak berulangkali datang pada saya dan ibu saya, dia mengatakan bahwa dia ingin menikahi saya. Beliau ingin melamar saya menjadi istrinya. Saya sebenarnya menolak niat beliau, karena saya tahu beliau sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Bahkan Ibu saya sempat mengusirnya. Tetapi Bapak tetap bersikeras, apapun yang terjadi dia tetap ingin menikahi saya. Dia bahkan mengancam, katanya jika tidak kawin dengan saya dia akan bunuh diri dan menceraikan istrinya. Dia meyakinkan saya kalau ibu pasti memberi ijin dan mau menerima saya..."

Sebenarnya kata-kata yang diucapkan Hayatun terasa pedih menghujam ulu hatiku. Sakit sekali rasanya! Tetapi entah kenapa kepolosan dan kalimat demi kalimat yang tulus dan mengandung kejujuran itu membuat diriku merasa nyaman mendengarnya. Aku tidak melihat sedikitpun niat buruk gadis itu. Justru kesediannnya menerima suamiku itu membuat diriku merasa pasrah. Kalau aku menolak, maka bapak akan bunuh diri dan menceraikan ibu Duh Gusti, kalimat inilah yang membuat hatiku runtuh. Diam-diam aku merasa bangga pada gadis itu. Bagaimana tidak? Karena itu kuanggap sebagai sebuah pengorbanan. Ya, kukatakan pengorbanan karena dia ingin menyelamatkan Baskoro dan rumah-tanggaku. Karena aku tahu benar kalau suamiku itu adalah lelaki yang keras. Dia bisa nekad jika niatnya tak terlaksana.

Singkat cerita, akhirnya suamiku menikahi Hayatun. Demi menjaga martabat dan reputasinya di mata orang sekelilingnya, Hayatun meminta agar pernikahannya itu dilaksanakan dengan sederhana saja. Akad nikahnya itu diselenggarakan di kampungnya. Aku sendiri tidak menghadiri pernikahannya itu, tetapi aku merestuinya. Begitu juga dengan kedua anakku, mereka dapat memaklumi sikap ayahnya itu.

"Yah... kalau itu memang sudah kehendak ayah. Tidak mengapa. Yang penting sikap ayah terhadap kami tidak berubah dan berlaku adil pada ibu," kata Indra dan Novi.

Sebenarnya perkawinan itu ditentang oleh pihak keluarga suamiku, terutama oleh adik Baskoro sendiri. "Seharusnya Mbak Tari melarang Mas Baskoro kawin lagi. Karena ini akan menjadi contoh buat keluarganya yang kata Tuti adik suamiku yang tinggal di Rajabasa, Bandar Lampung.

Ucapan Tuti kutanggapi dengan bijak. "Sudahlah, Ti. Tidak ada yang perlu disesali lagi, semuanya sudah terjadi. Kalau itu merupakan kebahagiaannya kita juga ikut bahagia. Mbak sendiri tidak apa-apa kok!" jawabku lembut. Tuti pun terdiam mendengar jawabanku itu. Setelah itu dia tidak lagi mengungkit soal perkawinan kakaknya itu.

Sejak itulah suamiku tidak lagi sepenuhnya tinggal bersamaku di Bandar Lampung, tetapi waktunya telah terbagi untuk istri mudanya yang tinggal di Gedongtataan, Pesawaran. Waktu terus berlalu. Tak terasa perkawinan suamiku dengan Hayatun sudah berjalan selama dua tahun. Maduku itu sekarang sudah... (Bersambung)


Oleh : Syamsul Lesmana Lanjut Ke Bagian-2