
Oleh para peneliti batu-batu itu disebutkan hasil kebudayaan ribuan tahun sebelum Masehi. Bentuknya yang nyaris sempurna diyakini masyarakat karena perwujudan kutukan tokoh sakti yang di juluki Si Pahit Lidah.
Batu gelondongan yang amat besar itu memang luar biasa uniknya. Bukan pada bobotnya yang besar, tetapi pada bekas tatanan, goresan, dan guratan di sekujur batu andesit berupa adanya sosok besar raksasa manusia tambun dengan bibir tebal, mata belok, telinga besar, dan hidung pesek. Sosoknya pun gempal dan tangannya gemuk serta kaki bergelang, berikut hiasan tubuh dengan atribut yang berlainan dengan seni arca kuno peninggalan masa Bud-ha dan Hindu yang ada di Indonesia.
Proses penemuan batu itu pun teryata cukup unik. Lukman, si pemilik lahan tempat batu tersebut, mengaku bermimpi pada malam sebelumnya jika dikebunnya ada sesuatu. la kemudian menuruti mimpi itu dan menggalinya. Benar saja, ia ia menemukan dua bilik batu berpahat di tempat tersebut.
Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam memang menyimpan cukup banyak tradisi megalitik. Wilayah Lahat dan Pagar Alam sendiri merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan di pantai barat Sumatera. Kedua kawasan itu, hingga ke sebagian wilayah Bengkulu, disebut sebagai kawasan Besemah (sejak pemerintahan kolonial menyebut dan menuliskannya Pasemah, nama inilah yang kemudian lebih akrab di kalangan masyarakat luar daerah ini).
Basemah merupakan daerah pegunungan: subur untuk pertanian, sehingga tak heran bila kawasan tersebut menjadi pusat pemukiman sejak ribuan tahun silam. Peninggalan megalitik Basemah mulai diteliti tahun 1830-1931 oleh Van der Hoop, naturalis dari Belanda. Buku karya Van der Hoop berjudul Megalithics Remains ini South Sumatera (1932), merupakan buku babon yang mengulas megalitik Basemah secara lengkap.
Lebih dari Setahun Van der Hoop menulis bukunya, dan pada 1988 ditemukannya lagi ? bilik batu di Desa Kota Raya Lembak, Kecamatan Pajar bulan, Lahat. Tujuh batu itu tersembunyi di bawah tanah di antara rerimbunan kebun kopi. Dari segi jumlah bilik batu merupakan penemuan peninggalan megalitik terbesar di kawasan Basemah. Di dalam salah satu bilik batu, sampai saat ini masih bisa dilihat lukisan berbentuk kepala naga. Lukisan tersebut dibuat di atas batu dengan menggunakan sejenis oker panduan warna merah dan putih.
Penemuan peninggalan megalitik terbaru adalah dua bilik batu di Desa Talang Pagar Agung pada Desember 2009. Ukuran ruangan didalam kedua bilik itu sekitar 2x1,5 meter dengan ketinggian 1,8 meter. Penemuan itu istimewa karena didalam bilik batu ditemukan arca kepala manusia setinggi 30 sentimeter. Di Desa Pulau Panggung, Kabupaten Lahat, pada 2009 juga ditemukan sebuah Iumping batu yang terkubur di kedalaman satu meter di tengah kebun kopi. Lumping tersebut diukir berbentuk ular yang sedang menelan anak kecil. Warga yang menemukan lumping batu itu juga mengaku mendapat mimpi sebelum menggali tanah. Di dinding bilik batu di Tulang Pagar Agung terdapat lukisan berbentuk lingkaran. lukisan tangan manusia dan tangan lukisan seekor binatang mirip kadal. Di bagian atapnya ada lukisan berbentuk pola anyaman.
Banyak peninggalan megalitik di Besemah adalah suatu petunjuk bahwa kawasan itu telah dihuni manusia setidaknya sejak 2.500 tahun sebelum Masehi. Pahatan detail dan sangat halus menunjukkan bahwa masyarkat Besemah kala itu sudah mengenal logam.
Seorang peneliti Balai Arkeologi Palembang berpendapat bahwa bilik batu atau pun arca di Besemah dibangun untuk tujuan religius. Didalam tanah itulah mereka melakukan ritual. Bentuk arca manusia, seperti situs Tegurwangi dan situ Pulau Panggung, menurut sang peneliti, adalah ciri khas Besemah. Cirinya, bentuk manusia yang digambarkan dalam arca bertubuh tambun, bibir tebal, dan hidung pesek. Cikal bakal manusia yang hidup di Besemah kemungkinan berasal dari manusia gua yang hidup 5.000 - 9.000 tahun sebelum Masehi. Bekas-bekas kehidupan manusia gua ditemukan di Kabupaten Ogan Komering Selatan. Dengan kata lain, kebudayaan manusia gua jauh lebih tua daripada kebudayaan manusia Besemah.
Kuat dugaan bahwa masyarakat Besemah yang menciptakan bilik batu atau arca batu tidak pernah pernah berpindah tempat. Dataran rendah Sumatera Selatan baru berkembang setelah masuk pengaruh Kerajaan Sriwijaya pada abad Vll Masehi, dan masuknya pengaruh Islam di masa-masa kemudian. Batu-batu yang memiliki bentuk pahatan yang cukup halus itu telah lama melahirkan cerita-cerita yang diyakini oleh masyarakat setempat, yang menyebutkan jika batu-batu tersebut adalah hasil perbuatan Si Pahit Lidah kepada orang-orang atau binatang yang disumpahinya menjadi batu.
Cerita tentang si Pahit Lidah memang cukup mengakar di sebagian besar masyarakat Besemah hingga kini. Bahkan, mereka percaya jika Si Pahit Lidah masih memiliki keturunan dengan kemampuan dan kesaktian yang sama dengan leluhurnya. Maka, terhadap batu-batu tersebut sebagian orang juga tak berani bertindak semena- mena karena dianggap memiliki nyawa dan bisa memberikan balasan jika diperlakukan kurang sopan.
Menurut Van der Hoop dan HW vonk yang juga melakukan penelitian terhadap batu-batu megalitik di Besemah disebutkan bahwa sebenarnya tidak ada ciri-ciri sebagai teranda lazimnya suatu area berbudaya Hindu, seperti cakra dan sangka. Arca batu Besemah yang disebut-sebut bersifat dinamis dan berukuran besar serta sosoknya yang unik tidak mungkin digunakan dalam tata upacara Hindu. Bahkan, arca antropomorf yang berbibir tebal dengan pipi gembil, badan tambun, dan mata belok sangat tidak mungkin digunakan sebagai perangkat upacara, tapi kemungkinan penggambaran, atau personifikasi dari arwah yang meninggal atau para pemimpin yang disegani masyarakat.
Batu-batu Besemah tersebut disebut- sebut oleh para peneliti asing sebagai suatu yang sangat istimewa. "Gaya pengarcaan yang menggabungkan sosok manusia dengan wujud hewan merupkan gaya yang strongly dynamic agitated, suatu budaya monumental yang dinamik ala Basemah yang merupakan local genius tiada tara. Tidak sama dan tidak ada kesamaannya dengan peninggalan megalitik di Nias, Sumba, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan," papar Von Heine Geldreen yang berkebangsaan Belanda itu.
Andaikan potensi budaya megalitik ini dimanfaatkan dan dimekarkan, nama Besemah, dengan Gunung Dompu-nya, pasti akan mahsyur di dunia karena batu tersebut merupkan satu-satunya di dunia. Sejauh ini memang belum ada perhatian serius dari pemerintah setempat untuk lebih memperhatikan potensi budaya megalitik tersebut. Hal tersebut memang wajar mengingat praSarana untuk mencapai lokasi tersebut belum maksimal. Di sisi lain, memanfaatkan potensi budaya megalitik semacam itu tanpa disertai aspek lain yang mendukung tentunya menjadi kurang maksimal.
Dalam ini memang perlu perhatian semua pihak untuk lebih memaksimalkan peninggalan bersejarah itu. Itu artinya tidak hanya melibatkan dinas purbakala saja, melainkan juga dinas pariwisata, dinas pekerjaan umum dan tentunya para investor yang ingin mendapatkan profit.
Oleh : Desi Setiawan