Bangkitnya Sedulur Papat Lima Pancer (1)


Setelah beberapa jam, lorong tersebut sudah bersih dari binatang berbisa dan asap pun sudah keluar semua. Bergegas Aditya menyiapkan peralatan termasuk tabung oksigen, karena mengkhawatirkan lorong tersebut penuh dengan gas yang berbahaya dan mematikan. Beruntung Aditya sudah terbiasa dengan hal semacam ini karena itu ia merasa tidak canggung sama sekali. Sebelumnya ia juga sudah mempersiapkan cincin panca wisa pemberian eyangnya yang mempunyai kegunaan untuk menghindari sengatan maupun gigitan hewan berbisa. Tampak berbagai binatang berlarian kesana- kemari begitu Aditya mengibaskan cincinnya. Mereka seolah ketakutan untuk bertemu dengan pemilik cincin tersebut. Cincin pancawisa atau lima bisa itu sendiri dulunya mempunyai riwayat yang panjang untuk memperolehnya.

Dahulu Eyang Broto yang merupakan kakek dari Aditya yang merupakan pinisepuh dalam olah kanuragan dan kebatinan melakukan meditasi di Gua Nagaraja. konon gua yang terkenal angker tersebut merupakan tempat tinggal Prabu Nagaraja, seekor ular naga raksasa yang menjadi guru dari Prabu Angling Darma- seorang raja Iinuwih cucu dari Prabu Jayabaya raja dari kerajaan Kediri.

Melalui ilmu yang diberikan oleh Prabu Nagaraja tersebut Prabu Angling Darma memperoleh warisan Aji Gineng. Semacam ilmu yang membuat pemiliknya mampu berdialog dengan hewan. Dan di Gua Nagaraja tersebut Eyang Broto dalam semadinya mampu mendapatkan cincin pancawisa yang mampu menolak gigitan maupun sengatan berbagai hewan berbisa. Dan cincin tersebut kini diwariskan pada Aditya.

Aditya, Pandu dan tiga orang pekerja bergegas memasuki tempat tersebut dengan hati-hati. Di dalam lorong yang gelap dan pengap tersebut pada awalnya mereka kesulitan untuk melihat apapun. Namun dengan bantuan lampu senternya, Aditya akhirnya bisa melihat tempat obor beserta minyaknya yang masih lengkap menempel di dinding lorong. Namun debu dan sarang laba-laba tampak menutupi seluruh ruangan yang ada dalam lorong. Rupanya walaupun selama berabad-abad terpendam dalam tanah, kondisi tempat ini masih tetap seperti awalnya.

Melihat deretan obor yang terpancang di dinding lorong dengan berhati-hati dinyalakannya satu persatu obor tersebut. Dalam sekejap cahaya yang terang dari nyala obor tampak memenuhi lorong yang semula gelap gulita.

Melalui penerangan obor yang menyala, Aditya menyaksikan dinding batu-bata yang masih terpasang kokoh di sepanjang kiri maupun kanan lorong. Sementara di beberapa permukaan dinding tampak terpahat berbagai macam ukiran yang tersusun dengan rapi. Mereka berlima yang berjalan dengan perlahan-lahan itu dengan takjubnya menyaksikan berbagai ukiran yang ada di dinding lorong. Ukiran ini seperti wujud Dewa Ganesha. Pandu memegang ukiran dewa berkepala gajah yang ada di sebelahnya. Patung Dewa Ganesha itu tampak berdiri dengan kokohnya.

"Ya, aku juga melihat ukiran sepasang dewa dan dewi yang berwajah tampan maupun cantik di sebelah kiri lorong." Aditya menunjuk ke arah ukiran yang ada di dinding sebelah kiri lorong. Ukiran yang berwujud sesosok laki maupun perempuan berpakaian khayangan.

"Kamajaya maupun Ratih," terang Pandu saat melihat ukiran yang ditunjukkan Aditya tersebut. Ia mencoba menghapus tumpukan debu yang memenuhi ukiran dimaksud.

"Melihat corak ukiran dan gayanya, memang membuktikan kalau tempat ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Singosari," kata Aditya sambil ikut menghapus debu yang menutupi lukisan Dewi Ratih. Ia melihat gaya ukiran itu dengan cermatnya untuk membuktikan benar tidaknya kalau ukiran yang dimaksud merupakan peninggalan kerajaan yang didirikan oleh Ken Arok.

"Aku jadi ingat apa yang dikatakan Prof. Lukman waktu kita kuliah dulu Mas," ujar Pandu. "Prof. Lukman dulu pernah mengatakan kalau situs dari Kerajaan Singosari beserta istana kerajaannya masih belum ditemukan. Diduga situs kuno tersebut masih tertimbun dan terpendam di dalam tanah."

Aditya hanya merenung mengingat apa yang dikatakan oleh pengajar mereka dahulu. Ia juga mengingat kalau Prof. Lukman di dalam suatu ceramahnya menyatakan kalau hancurnya Singosari karena gempuran Jayakatwang dari Kediri telah menenggelamkan kerajaan besar itu. Sampai akhirnya berpindah ke daerah Trowulan dan penerus dari Kertanegara yang merupakan raja terakhir Kerajaan Singosari berhasil mendirikan Majapahit.

Aditya lalu mengajak mereka untuk segera memasuki lorong lebih ke dalam. Lorong demi lorong mereka lalui sambil melihat berbagai ukiran yang terpahat memenuhi sepanjang dinding.

"Awas...….!!!" teriak Aditya dengan tiba- tiba merunduk ke bawah.

Pandu serta dua orang pekerja yang mengikutinya segera menghentikan langkahnya begitu melihat teriakan Aditya. Belum sempat hilang rasa terkejut pada diri mereka, terdengar suara seeeeer.... seeeer... ceeep..ceeeeep. Tampak anak panah melesat hampir menembus kepala Aditya dari arah samping kanannya. Anak panah yang rupanya terpasang secara rahasia itu bergerak dengan sendirinya manakala Aditya menginjak lantai yang diinjaknya. Beruntung ia segera merunduk, kalau tidak kepalanya tentu sudah tertembus panah dan tubuhnya akan terpantek di dinding lorong sebelah kiri.

"Syukurlah," bisik Pandu lirih. "Mas Aditya tanggap apa yang terjadi?"

Aditya hanya tersenyum kecut sambil menatap kepada 2 orang pekerja yang tampak ketakutan.
"Waktu kulihat lukisan Syiwa di sebelah kanan yang sedang murka dan mementang busur panah aku merasa aneh. Belum pernah ada ukiran berbentuk itu. Beruntung firasatku ternyata benar, itu merupakan peringatan akan jebakan yang terpasang." kata Aditya sambil menunjuk ke arah ukiran Syiwa yang ada di sebelah kanan mereka.
"Kuharap tidak ada lagi jebakan didepan."
Mereka kemudian berjalan ke depan dengan hati-hati. Sementara Pandu tampak bergidik melihat panah yang tertancap di bagian dinding kiri. Tampak ujung panah itu berwarna hitam kebiruan menandakan adanya racun yang sangat keras.

Beberapa saat kemudian setelah berbelok beberapa kali di dalam lorong, akhirnya mereka memasuki ruangan yang lebih lebar dan lebih luas. Ruangan itu mungkin semacam aula pada jaman dahulunya. Di depan pintu aula terdapat 2 buah patung raksasa yang berdiri dengan angkernya. Patung raksasa tersebut tampak memegang berbagai macam senjata serta mata keduanya kelihatan melotot seakan-akan mencegah siapapun yang akan memasuki tempat tersebut.

Para pekerja bergegas menyalakan obor yang ada pada lekukan batubata. Lekukan batubata itu membentuk kubah berbentuk pintu untuk memasuki ruangan tersebut. Setelah semua obor yang ada di ruangan mirip aula itu menyala tampaklah pemandangan yang mengherankan mereka semua. Pemandangan yang membuat mereka merasa takjub dan ngeri.

Seekor ular naga raksasa yang berwarna hitam berukuran hampir sebesar pohon kelapa tampak duduk bergelung di atas peti batu yang ada di ruangan.

"Ya Tuhan..!" seru Pandu dengan mimik heran. Kedua orang pekerja yang mengikuti mereka sudah bersiap untuk melarikan diri. "Tenang, kuharap kalian tetap tenang dan jangan bergerak," kata Aditya berusaha menenangkan mereka yang tampak ketakutan tersebut.

Ular naga tersebut yang semula diam kini perlahan-lahan tampak membuka matanya. Mata yang semula tertutup itu kini terbuka dan kelihatan mencoreng berwarna merah menyala. Rupanya ular naga tersebut seakan melihat kedatangan mereka berlima yang memasuki kediamannya. Kepalanya yang dihiasi jambang tersebut kemudian ikut bergerak ke atas seakan ingin melihat lebih jelas kearah para pengusiknya... (Bersambung)


Oleh : Bayu Indrayanto

Lanjut Ke Bagian-2