
Setelah aku dapat melupakan pacarku yang pecandu berat narkoba itu, maka aku berpaling kepada Kang Mahmud Manuarfa dan menerima pinangannya. Tak ayal, aku pun menjadi istri ke dua dari petinggi kementerian luar negeri tersebut.
Setelah menikahiku, Kang Mahmud Manuarfa membelikan aku rumah sederhana di Tampak Siring, Duta Bintaro, Kota Tangerang. Sebuah rumah type 45 dengan tiga kamar tidur dan taman kecil karena posisi rumah itu di hook. Aku tinggal di rumah itu dan diperbolehkan membawa adik misanku, Sutinah untuk membantu aku masak, mencuci dan nyetrika. Sutinah digaji bulanan sesuai upah minumum regional daerah Banten. Sebagai istri muda, aku didatangi oleh Kang Mahmud Manuarfa, dua kali dalam seminggu. Hari Selasa dan hari Jumat.
Mbakyu Purwanti, mulanya tidak tahu bahwa Kang Mahmud Manuarfa menikahiku. Namun setelah mengetahui, Mbakyu Purwanti mendatangiku dan bertanya banyak hal kepadaku tentang pernikahanku dengan Kang Mahmud Manuarfa.
Pada saat didatangi Mbakyu Purwanti, dilabrak, kupikir aku akan ditampar dan diludahinya. Maklumlah, istri manapun di dunia ini, akan marah jika suaminya menikah lagi. Apalagi menikah denghan perempuan muda belia seperti aku ini. Pikirku, pastilah Mbayu Purwanti hatinya panas terbakar cemburu dan akan menempeleng aku. Aku sudah prepare, siap mental dan ikhlas sekali jika aku dipukuli. Aku telah melakukan kesalahan besar karena menikah dengan suaminya.
Dan menyita banyak perhatian suaminya hingga jatah perhatian suaminya akan berkurang setelah menikah dengan aku. Mbakyu Purwanti ternyata tidak marah. Dia hanya mengingatkan agar aku jangan memeras suaminya. Jangan terlalu banyak menuntut dan ikhlas mengurus dirinya, tidak memandangnya hanya sebagai sumber uang semata.
"Pada saat kau menerima pinangan suamiku, mestinya kau sudah siap untuk mencintainya dan mengurusnya dengan baik," tekan Mbakyu Purwanti kepadaku.
Aku tidak berkata apapun. Aku hanya diam saja dan mendengarkan dengan baik apa yang dikatakannya. Sesekali, aku menundukkan kepalaku sambil mengangguk. Namun, entah kenapa, airmataku tumpah pada saat Mbakyu Purwanti berpamitan denganku dan mengatakan bahwa jatahku hanya dua hari dalam seminggu bersama Kang Mahmud Manuarfa. Selebihnya, waktu terbanyak Kang Mahmud Manuarfa adalah untuk dirinya dan anak-anak.
Hari itu, aku menangis bahagia. Bahagia karena maduku, istri pertama Kang Mahmud, tidak melakukan kekerasan kepadaku. Bahkan dia sangat menghargai aku sebagai wanita, istri muda dari suaminya yang sangat dicintainya juga.
Setelah sekian lama aku menjadi istri muda, istri kedua Kang Mahmud Manuarfa, aku hamil juga. Aku terlambat menstruasi dan dokter kandungan, dokter Cucu Januardi, 56 tahun, menyatakan aku hamil. Aku sangat bahagia bisa hamil dan akan melahirkan anak dari suamiku, kang Mahmud Manuarfa yang sangat aku cintai.
Ketika perutku hamil enam bulan, Kang Mahmud dipindahtugaskan. Suamiku diangkat menjadi kepala konsulan jenderal di Dubai, ibukota Uni Emirat Arab di Timur Tengah. Kang Mahmud Manuarfa berpamitan kepadaku tentang tugas itu. Dia meminta pendapatku, menerima tugas itu atau menolaknya.
Semua itu tergantung aku. Bila aku setuju, dia akan berangkat tugas ke sana, jika aku tidak setuju, Kang Mahmud Manuarfa akan membatalkannya. Karena aku setuju Kang Mahmud Manuarfa menerima tugas mulia itu, maka Kang Mahmud pun memeluk aku dan memohon doa akan tugas itu dapat dilakukannya dengan baik.
Manusia punya rencana, namun yang menentukan Allah Azza Wajalla. Belum setahun bertugas di Dubai, Kang Mahmud terkena serangan jantung dan meninggal dunia. Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Karet Biyak, Jakarta Pusat. Pada saat disemayamkan di rumah Mbakyu Purwanti di kuningan, Jakarta Selatan, aku datang dan berpelukan sedih dengan Mbakyu Purwanti dan anak-anaknya.
Setelah Kang Mahmud Manuarfa meninggal, aku tetap tinggal di rumah kami di Duta Bintaro. Untuk menyambung hidup, aku dan Sutinah, sepupuku, berjualan makanan di Pasar Anyar. Dengan modal uang seadanya, kami juga membuka warung makan di karawaci dan Alhamdulillah maju pesat.
Namun, pada saat umur kehamilanku sembilan bulan, siap mau lahiran, tiba-tiba anak dalam kandunganku menghilang. Aku panik dan kalut melihat perutku, suatu malam Jum'at Kliwon, menghilang. Aku segera ke dokter kandungan langganan, Cucu dan dokter cucu mengatakan, bayiku menghilang dan aku tidak hamil lagi. Dokter Cucu menganjurkan aku ke paranormal yang dikenalnya Iinuwih dan aku datang ke Ustad Mamat. Ustad nyentrik yang pakar mistik ini. menyatakan langsung, bahwa anakku masih hidup dan ada di sekitarku.
"Anakmu menjadi anak ambar. Dia berjenis kelamin perempuan dan cantik sekali," kata Ustad Mamat, yang bisa melihat anakku yang sudah bisa berjalan dan cerdas itu.
Duh Gusti, ternyata anakku itu sudah bisa jalan dan aku beri nama Ambarwati Manuarfa. Tinggi tubuhnya, kata Ustad Mamat,150 sentimeter dan memakai baju warna putih, jilbab putih dan rok panjang warna hijau.
"Suatu kali, bila kau terus menerus menghafal mantra yang aku berikan, kau akan melihat anak ambarmu itu," desis Ustad Mamat, kepadaku.
Belakangan, aku benar-benar dapat melihat anak ambarku. Dia maujud sesekali di malam hari. Dia ada di kamar tidur, di dapur dan di ruang tamu. Pernah pula maujud di halaman menyapu sampah daun pohon manggaku dan mengepel lantai yang kotor. Di dapur, dia memasak air, menyapu, menyetrika dan mencuci piring di wastafelku. Anakku itu ada namun tiada. Dia maujud tapi terkadang raib menghilang entah ke mana. Bahkan, belakangan, dia memijit aku ketika aku demam, dia mengurut keningku ketika aku sakit kepala.
Jujur saja, aku bahagia sekali. memiliki anak ambar. Dia berwajah cantik sekali, mirip sekali dengan ayahnya, Kang Mahmud Manuarfa. Bila aku ingin berjumpa dengannya, aku membacakan mantra-mantra pemberian Ustad Mamat dan mengirim sebanyak-banyaknya surat Al Fatihah untuknya. Sambil menyebut namanya, Ambarwati Manuarfa.
Pada bulan September 2014 ini, tubuh anak ambarku, Ambarwati manuarfa makin tinggi dan cantik. Kulitnya putih, hidungnya mancung dan tubuhnya langsing seperti top model Ratih Sang. Dari hidungnya, matanya, kupingnya dan bibirnya, persis sekali dengan Kang Mahmud Manuarfa, ayah kandungnya. Dengan adanya kemiripan itu, maka, walaupun suamiku sudah wafat, namun aku merasakan suamiku itu masih hidup dan tetap setia bersamaku.
Oleh : Tia Aweni D. Paramitha