Tempat Usahaku Dikirimi Santet (1)


Sejak tahun 1998 sampai sekarang, aku menyewa sebuah ruko di Jalan Timoho yang terletak pas di pusat kota Yogyakarta. Bersama dengan para penyewa lain, kami saling berkolaborasi berdagang apa saja yang sekiranya bisa laris terjual. Sebelum menjadi ruko, lokasi yang kami tempati adalah sebuah rumah tua dengan halaman yang sangat luas.

Di depan rumah terdapat dua buah pohon sukun yang besar, rindang dan lebat, yang rajin berbuah dan batangnya berdiameter sekitar 1,5 meter. Di samping rumah terdapat dua buah pohon mangga harum manis yang rajin berbuah. Sedangkan di samping belakang rumah terdapat ruangan yang luas yang nampak lembab dan jarang terjamah yang di dalamnya terdapat sebuah kerangkeng besi sebesar seekor sapi, yang entah untuk mengkerangkeng apa besi itu dulunya.

Tahun 2000, separuh tanah itu disewa oleh sebuah toko ritel sebut saja ritel Apa saja ada. Lalu dibangunlah sebuah supermarket yang megah. Nah, pada saat dibangun, kerangkeng yang ada di situ tidak bisa dipindahkan. Tenaga puluhan tukang belum kuat menjebol. Lalu dipanggilkan traktor dan beko sekalian untuk menebang pohon sukun. Masih saja tak bergeming.

Kemudian kami memanggil orang pintar. Pada saat itulah, tiba-tiba si orang pintar jatuh terjengkang dan berguling-guling. Dari mulutnya mengeluarkan busa bercampur muntahan darah segar. Aku segera menolong sang paranormal dan segera menemui sang pemborong bangunan. Kuanjurkan segera membuat sedekah ke warga sekitar dengan membuat kenduri untuk 100 warga di sekitar lokasi itu.

Saranku diterima, lalu diadakan kenduri yang dipimpin oleh Mbah Kaum di tempat itu. Akhirnya kerangkeng berhasil dipindah dan bangunan ritel supermarket selesai sebelum tenggat waktunya habis. Tetapi setelah itu, tiba-tiba sang mandor mengalami kecelakaan parah pas mau nyeberang ke lokasi saat istirahat siang atau waktu rolasan.

Ia terluka parah, tapi berhasil diselamatkan. Belum sampai supermarket diresmikan, hampir setiap hari terjadi tabrakan di sekitar lokasi. Memang tak sampai ada korban, hanya saja selalu rneninggalkan ceceran darah di TKP.

Aku sudah makfhum dengan segala kejadian itu, biarkan saja. Memang tempat di sekitar situ lalu lintasnya padat, ramai tetapi jalannya sempit. Apalagi jika kulihat para manajer atau supervisor supermarket itu, kurang menghargai orang, istilah orang Jawa, ora nguwongke. Aku yang menjadi penghubung mereka saja terus dilupakan, habis manis sepah dibuang.

Padahal, dulu sebelum deal, mereka membujukku agar mau mempertemukan mereka dengan pemilik tanah. Mereka seperti para pejabat saat pemilihan legislatif, berjanji manis, berjanji mau memberi lapangan pekerjaan ke masyarakat, memberi lahan parkir ke pengangguran di sekitarnya, mau memberi fee, mau memberi pinjaman modal dan memberi space khusus di kavling mereka untuk warga pribumi, nyatanya semua bohong. Padahal semua perjanjian dengan RT yang ditandatangi manajer supermarket ada semua, tapi supermarket nasional itu tetap ndhobos alias ngibul.

Akhirnya supermarket tersebut buka resmi sampai sekarang dengan omset yang sungguh besar dan mematikan peritel pribumi. Semua dijual. Akibatnya tak ada ruang kompetisi yang sehat. Yang modal kuat menang, yang modal terbatas, hancur dimakan persaingan.

Tak lama kemudian, dengan kebijaksanaan dari pemilik tanah, kami semua penyewa, disuruh membangun ruang usaha kami masing-masing, dengan uang masing-masing, yang nanti dikonversikan atau dihitung sebagai uang sewa. Teman-temanku sesama penyewa yang punya modal langsung membangun dengan bagus. Aku sendiri hanya membangun apa adanya asal bisa digunakan untuk berjualan.

Akhirnya semua bisa berjalan, tetapi beberapa tahun berikutnya otomatis biaya sewa jadi membengkak, karena semua sudah menjadi ruang usaha yang permanen dan bagus. Supermarket langsung bisa membayar kenaikan harga sewa. Bang Jono yang jualan wedang bajigur dan gorengan berhenti menyewa. Mas Juned rental komputer juga berhenti menyewa. Demikian pula dengan Budhe Darmi yang jualan nasi rames berhenti sewa. Aku gamang. Dengan nyali kuat, aku temui pemilik rumah.

"Maafkan saya ibu. saya sudah tidak kuat membayar uang sewa seperti yang ibu kehendaki. Kalau ibu berkenan, ijinkan saya membayar uang sewa sepuluh juta saja setahun. Saya siap menjadi cleaning servis dan penjaga keamanan semua ruko ibu di Yogja ini."

"Aku orangnya gampang. Dhik. kalau itu kehendakmu aku setuju saja. Aku pasrahkan saja semuanya kepadamu. Kalau nanti ruko yang lain laku atau mau memperpanjang kontrak, hubungi aku, lalu uangnya ditransfer ke rekeningku di Jakarta," kata dia. Kesepakatanpun terjalin.

Aku sepakat dan ibu pemilik ruko pun juga. 3 bulan kemudian, 3 ruko yang tersisa langsung laku disewa oleh satu orang pengusaha rumah makan, pecel dan ayam goreng. Sebut saja namanya Pak Prakoso. Ketiga ruko langsung ia sewa untuk ketiga item produknya.

Semua usaha Pak Prakoso berjalan sangat pesat dan laris luar biasa. Malam pun juga menjadi hidup karena oleh Pak Prakoso, bila malam, tempat usahanya dirubah seperti kafe dengan para pramusaji yang ganteng dan cantik.

Semua itu berimbas pada warungku yang juga ikutan laris. Aku pun bersama warga setempat punya tambahan penghasilan, yaitu sebagai tukang parkir. Oleh Pak Prakoso, warga yang nganggur dan punya talenta atau potensi ditawarinya menjadi tukang masak, waitres atau penyanyi.

Makin lama, usaha Pak Prokoso kian berkembang. Satu persatu karyawan pak Prakoso keluar masuk. Ada yang keluar karena mendapatkan jodoh sesama karyawan di situ, tetapi ada pula yang keluar karena makin lama Pak Prakoso makin otoriter dan arogan.

Meski begitu, Pak Prakoso terhadapku, tetap seperti biasa. Terhadap para karyawan seenaknya, terhadapku beliau menghargai. Yang berubah hanyalah, sekarang dia punya mobil, mobil inilah yang menjadi biang keladi kejengkelanku, karena mobilnya ditaruh pas di depan tokoku, sehingga tokoku ketutupan.

Kudiamkan saja, karena menurutnya tidak mengganggu. Belum reda kejengkelanku terhadap mobilnya, tiba- tiba ia mengumpulkan semua sampah di samping tokoku. Padahal sampahnya adalah bekas masakan, akibatnya di tokoku sering tercium bau busuk sampah. Walau setiap pagi sampah tersebut dibuang, masih saja sampah itu sangat menyengat baunya saat siang sampai malam hari.

Aku terus bersabar menghadapi hal yang demikian. Tetapi makin lama, usaha Pak Prasojo makin laris saja. Dengan kian larisnya warung, sayangnya tidak diikuti dengan bertambahnya rasa syukurnya terhadap Tuhan.

Benar kata orang bijak, cobaan sebenarnya dari Tuhan, bukan saat manusia kekurangan, tetapi saat manusia serba kecukupan. Atau menurut orang jawa, duit nggondhol lali. Atau kalau menurut hadits adalah bukan kemiskinan yang kutakutkan dari umatku, tetapi aku takut umatku berhura-hura dengan hartanya, sehingga mereka lalai terhadap Tuhannya.

Karena bergelimang uang dan kenikmatan, semua kemauan Pak Prakoso pasti tercapai. Baru 4 tahun menyewa ia sudah punya 3 mobil dan 5 sepeda motor keluaran terbaru.

Lingkup pergaulannya pun juga berbeda. Yang dulunya tidak pernah berjudi, ia jadi rajin berjudi bola. Padahal sepakbola saja ia tidak tahu. Ia asal menerima tantangan taruhan pemenang sepakbola dari liga.. (Bersambung)


Oleh : Pupun Widodo

Lanjut Ke Bagian-2