
Kisah seputar eksistensi makhluk gaib penunggu masjid tua, memang sedikit lebih tertutup dibanding penampakan di tempat pemakaman umum. Hal itu dikarenakan, menjaga kesan tempat suci yang mulia, serta agar tidak menjadi momok bagi remaja yang suka menggunakan masjid untuk menimba ilmu agama maupun ilmu kebatinan.
Sebagai pemuda lajang, Agus Samat (23 tahun), warga Blok Tengah, Desa Tulangkacang, Kecamatan Bongas, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, lebih suka begadang dari pada harus mendekam di kamar tidur rumahnya. Bahkan sepulangnya begadang, Agus Samat jarang pulang ke rumah, sebagai tempat memejamkan mata, tak lain masjid tua milik keluarga H. Wandi.
Untuk wilayah Tulangkacang, masjid milik keluarga kaya itu, tercatat paling tua bahkan hingga di wilayah Kecamatan Bongas. Meski kondisi bangunannya mulai keropos, namun masjid milik keluarga H. Wandi memiliki daya tarik tersendiri, sehingga pemuda di desa itu lebih suka tidur di masjid tua itu dibanding masjid Jami milik masyarakat. Di antara puluhan pemuda Tulangkacang, Agus Samat tercatat menjadi pelanggan setia, nyaris tiap malam tidur di lantai marmer kusam itu.
Di masjid tua itu, Agus Samat juga dipercaya membantu H. Wandi untuk mengajari anak-anak membaca Al Qur'an. Bahkan, dibanding pemuda sebayanya, seluruh anak berusia antara lima hingga sepuluh tahun yang menimba ilmu membaca Al Qur'an di tempat itu, sangat patuh dan manut terhadap Agus Samat.
Di kalangan masyarakat Tulangkacang, ada rutinitas yang tumbuh sejak zaman dulu dan masih dilestarikan sampai saat ini. Dimana tiap malam Jum'at, sebagian besar kaum pria datang berbondong- bondong memasuki masjid untuk melaksanakan marhabanan. Acara berbau tradisi semacam itu berlangsung tiga jam termasuk ceramah agama, lalu ditutup menyantap makanan kering yang berasal dari sodakoh warga sekitar.
Menjelang tengah malam, jamaah marhaban langsung membubarkan diri. Kini yang tersisa hanya Agus Samat ditemani sebelas remaja tanggung yang tak lain santrinya. Selusin remaja didalam masjid itu, tak ada satupun yang duduk tegak, mereka seluruhnya menyandar ke dinding. Beberapa saat berikutnya, satu demi satu rebahan di atas lantai, tentu saja akibat lelah di pantat dan pegal di punggung.
Tengah malam telah bergeser memasuki dini hari. Angin kumbang menembus ventilasi, membawa uap air sisa hujan. Suasana kian menyiksa, dingin tak tertahankan dan tak dapat dihalau hanya menggunakan selembar kain sarung.
Makin malam udara kian dingin, dan suara dedaunan tersapu angin, makin menambah berisik. Agus Samat tidur terlentang menatap langit-langit. Sesekali dia lirik ke sisi kiri- kanannya, rupanya hanya dia sendirian yang masih terjaga. Sedangkan sebelas remaja tanggung di sekelilingnya sudah terbang menembus alam mimpi masing-masing. Kali ini Agus samat dibuat jengkel, alangkah susahnya mengundang kantuk. Tirai mimpi nyaris saja tersingkap andai tak ada ketukan pada daun jendela. Agus Samat menajamkan pendengaran. untuk memastikan bahwa yang baru saja dia dengar bukan halusinasi. Beberapa tarikan nafas berikutnya, terdengar ketukan pada daun jendela, persis di atas kepala. Hal itu kontan mengagetkan, hingga tak sadar, detak jantung kian berpacu kencang laksana lokomotif. Setelah detak jantung mulai reda, Agus Samat beringsut lalu duduk sesaat sebelum bangkit dari atas lantai dan melangkah menuju ambang pintu depan.
Sedikit gugup, gerendel dilepas disusul terkuaknya daun pintu depan. Sejenak dia longokkan kepala, menoleh ke kiri- kanan. Yakin tak ada apa-apa, Agus Samat memberanikan diri menerobos ambang pintu. Langkahnya cukup mantap, menyusuri lantai serambi mesjid, tujuannya ke sisi kiri, dimana jelas terdengar suara ketukan pada jendela. Setibanya di pojok kiri, lagi-lagi Agus Samat menghentikan langkah, dan hanya kepala dia longokkan mengawasi jendela yang tadi diketuk dari luar. Kening pemuda lajang itupun berkerut tajam, seorang perempuan tengah berlenggang menjauhi jendela tertuju ke pojok di mana Agus Samat bersembunyi. Saat jaraknya tinggal beberapa langkah lagi, Agus Samat langsung muncul seraya mencegat perempuan yang sudah dikenalnya. Pemuda itupun menyapa Nadiyah, yakni mantan pacar yang kini menikah dengan pemuda hasil perjodohan orangtua masingmasing. Tapi ada maksud apa Nadiyah malam-malam datang ke masjid, ataukah lantaran suaminya sudah dua bulan berangkat ke Korea melanjutkan perpanjangan kontrak kerja.
Perempuan cantik itu tak sedikitpun buka suara, selain menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan pemuda yang masih dicintainya itu. Tak dapat ditolak, Agus Samat mendekap erat tubuh mantan pacarnya. Meski alam bawah sadarnya memerintahkan untuk melepaskan tubuh perempuan bukan muhrimnya, tapi naluri dan gelora cintanya justru memotivasi hasrat untuk mencium bibir merekah yang sangat dia kagumi. seperti gayung bersambut, Nadiyah bukannya menolak, melainkan menyambut dan membalas ciuman mantan pacarnya itu dengan penuh gairah, layaknya perempuan kesepian.
Saat tenggelam dalam lumatan bibir seksi serta gerilya jemari ke tonjolan dada mantan pacarnya, kuping Agus Samat menangkap suara jeritan dari arah belakang. Spontan tubuh perempuan itu didorong menjauh sekaligus menoleh ke belakang. Ternyata Ridwan, santri kesayangannya berdiri dengan lutut gemetar seraya menunjuk-nunjukkan telunjuk ke arah perempuan itu. Usai menunjuk-nunjuk ke arah perempuan di belakang guru ngajinya, remaja tanggung itupun jatuh pingsan dengan suara berdebam keras. Agus Samat kaget bukan kepalang. sekaligus bingung, sehingga dia mengalihkan pandangan dari sosok Ridwan ke arah Nadiyah.
Hanya dalam jarak dua langkah, Agus Samat begitu jelas menyaksikan perubahan pada diri Nadiyah. Wajah cantik yang begitu dia kagumi, kini berubah total, begitu mengerikan. Begitupun tubuh sintal serta padat, kini berubah bengkak persis tubuh mayat yang baru diangkat dari dalam irigasi. Bau parfum yang menggairahkan, kini berganti bau bangkai teramat menyengat. Mendapatkan terror teramat dahsyat. tak pelak tubuh Agus Samat lemas lalu menggeloso ambruk di atas lantai dalam keadaan pingsan, sehingga tak sempat menyaksikan raibnya sosok makhluk gaib dari hadapannya.
Maraknya aksi pembegalan kendaraan bermotor dengan disertai tindak kekerasan, membuat miris Siswanto (42 tahun), dan puluhan warga lain yang tinggal di Blok Griya Bodong Wetan Tangsi, RT.05 RW.02, Desa Gabus Wetan, Kecamatan Kedokan Gabus, Kabupaten lndramayu, Jawa Barat. Warga yang sering mengendarai sepeda motor malam hari, hatinya selalu was-was, termasuk kalangan tukang ojeg. Siswanto yang selama ini bekerja di gudang pengadaan pakan udang wilayah Kandanghaur, nyaris setiap hari melakukan perjalanan malam, mengingat untuk pengepakan pakan tidak ditetapkan batas waktunya. Batasnya kalau seluruh pakan selesai dipak dan diangkut armada gudang, saat itulah seluruh karyawan gudang boleh pulang. Akibatnya, Siswanto dan karyawan lain rneninggalkan gudang sekitar jam sepuluh malam.
Apalagi akhir tahun 2013 merupakan masa-masa produktif bagi kalangan petambak udang, sebab pertengahan Januari 2014, udang harus dipanen demi mengejar lonjakan harga di pangsa pasar. Udang yang siap dipanen, memiliki ukuran tubuh sangat besar, notabene membutuhkan pakan dalam jumlah duakali lipat dibanding sewaktu ukuran udang masih kecil. Dengan demikian, pengepakan pakan udang di gudang milik pengusaha China itupun semakin banyak dan butuh waktu lebih lama lagi.
Berhadapan dengan situasi kurang menguntungkan, bukan berarti Siswanto harus mundur dari pekerjaan demi keselamatan jiwanya. Pasalnya untuk menjadi karyawan gudang pakan udang butuh perjuangan serta harus menempuh nepotisme. Dan direkrutnya Siswanto tak lain, lantaran ada keluarganya yang bekerja di kantor pemerintahan Kecamatan Kandanghaur. Melalui memo pegawai kantor kecamatan itulah, Siswanto diterima menjadi karyawan tanpa melalui seleksi.
Solusi terbaik menurut Siswanto, melalui ijazah hizib kekebalan tubuh, agar tidak terluka manakala bandit bersenjata tajam melakukan aksi pembegalan terhadap sepeda motor miliknya yang baru diangsur sepuluh kali itu. Beruntung kakak sulung istri Siswanto bergelut di dunia perdukunan dan mempunyai murid cukup banyak tersebar di sejumlah desa, sehingga Siswanto tak perlu mengembara untuk mendapatkan mantra hizib.
Tanpa banyak basa-basi, Abah Subkhi menyerahkan secarik kertas berisi rangkaian kalimat dengan huruf Arab. Tanpa menyebutkan nama hizib, Abah Subkhi menjelaskan ritual penebusan khodam hizib agar menyatu ke dalam raga Siswanto. Jika ritual puasa serta wirid sudah selesai, konon kulit Siswanto akan sekeras besi sehingga tak akan terluka meski dibacok golok maupun disabet clurit.
Disebabkan waktu wirid dimulai tengah malam, terpaksa Siswanto harus cermat membagi waktu. Pulang dari gudang, dia sempatkan untuk tidur meski hanya tiga jam. Setelah jam dua belas, sang istri membangunkannya untuk menjalankan wirid hizib. Tapi malam Jumat 27 Desember 2013, entah kenapa sang istri ketiduran dan lupa membangunkan. Siswanto terjaga dari tidur sekitar jam dua dinihari. Saat itu juga Siswanto kelabakan dan harus mempercepat bacaan wiridnya. Tanpa pikir panjang, dia mandi dan bergerak meninggalkan rumah menuju mushola tua peninggalan almarhum ayahnya-
Seorang diri, dia melangkah menyusuri jalan setapak cukup becek sisa hujan sore tadi. Tak ada yang dia pikirkan kecuali bayang-bayang bakal kandasnya upaya ritual. Mengingat, jika jumlah wirid kurang dari 1000 kali, maka ritual dianggap gagal dan harus diulang dari awal lagi. maka tanpa mempedulikan terpaan hawa dingin, dia terus memacu langkah yang agak sulit akibat permukaan tanah cukup licin. Kini jarak dengan mushola tinggal belasan meter, dan sekilas dia lihat seseorang berkelebat memasuki mushola. Dia bertanya-tanya, ada apa sedinihari itu ada orang memasuki mushola. Ingat kalau dua hari lalu ada perangkat sound sytem yang dibelikan kakaknya untuk sarana mushola, saat itu juga dia mulai curiga. Jangan-jangan ada maling yang hendak mencuri sound system dari dalam mushola.
Emosi Siswanto langsung terusik saat membayangkan ada maling yang berani menyatroni mushola milik keluarga besarnya itu. Akibat emosi yang berkobar, sejenak dia melupakan rencana ritual yang hanya menyisakan dua malam lagi. Dia harus memberi pelajaran kepada maling yang sudah berani menginjak-injak kehormatan keluarganya. Di Blok Griya Bodong Wetan Tangsi, keluarga Siswanto sangat disegani, sehingga tak satupun warga yang berani bertingkah macam-macam. Pasalnya, keluarga Siswanto ada yang menjabat Kapolsek, ada juga yang menjadi anggota TNI di Makodim 0616 Indramayu, juga ada yang berprofesi dukun dengan jumlah murid sangat banyak dan rata-rata sudah memiliki bela diri tangguh serta hizib tingkat tinggi. Ibaratnya, orang yang nekat melakukan kejahatan, sama artinya mengusik tidur kawanan macan.
Langkahnya dia atur sangat hati-hati, agar tidak menimbulkan suara berisik. Pandangan terus ditajamkan, sesekali dia menengok ke berbagai penjuru, tentu saja untuk berjaga-jaga jika kemungkinan ada kawanan maling yang bersembunyi di antara rapatnya rumpun pohon pisang. Sudah mafhum, sangatjarang ada maling yang berani melakukan aksi seorang diri, sekurang-kurangnya ada dua atau tiga orang yang menemani.
Setelah melepas sandal, bergegas dia menerobos memasuki mushola yang masih gelap. Dalam suasana gelap, dia pentangkan mata agar mampu beradaptasi dengan kegelapan. Kini terlihat seseorang sedang membungkuk tepat di dekat pengimaman dan di sampingnya tersimpan sound system yang akan dicuri. Tanpa buang waktu, saklar dia tekan hingga ruang mushola berubah terang benderang.
Dalam suasana terang benderang dan dalam jarak hanya beberapa meter, Siswanto ternganga dengan sepasang lutut lemas. Orang yang kini berdiri tegak itu sangat jelas bukan manusia. Dalam posisi berhadapan, terasa ada ketimpangan yang mencolok. Tubuh sosok di depannya itu tinggi besar dengan kepala nyaris menyentuh langit-langit. Sekujur tubuhnya dipenuhi bulu lebat, dan wajahnya persis wajah kingkong. Tatapannya terlihat sangar dengan bola mata semerah saga. Saat membuka mulut, terlihat taring tajam disertai meluncurnya suara geraman berat.
Saat itu juga Siswanto shock sehingga tanpa dapat dicegah, tubuhnya ambruk di atas lantai. Dia pingsan berjam-jam sampai datang imam mushola membangunkannya untuk sholat Subuh. Siswanto histeris antara rasa takut dan kecewa lantaran ritualnya telah gagal dan harus diulang bulan berikutnya.
Oleh : K. Hendy Koeswara