
Kapal tongkang Ocean Dream berangkat pukul 09.45 dari dermaga Khumara, Pakistan Timur, 23 Agustus 2013 menuju Chrismas island, Australia. setelah sandar dua hari di Pulau Panaitan, Banten, lndonesia, seminggu kemudian, kapal berlayar menyusuri Banten Selatan, mampir di Pulau Tinjil lalu lanjut ke wilayah Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Kapal berkapasitas 50 orang bertonase 10 ton ini berbendera lndonesia, milik Robert Hamidan, orang Jakarta yang bermukim di Phuket, Thailand. Robert Hamidah bisnis bidang perkapalan kecil dan losmen di Phuket. Karena Robert Hamidah berteman dengan papaku, maka aku diterima bekerja di usaha kapal miliknya yang mangkal di Maladewa.
Aku mengelola Ocean Dream dan bertugas di Maladewa. Ketika kapal ini akan ke Australia membawa 50 orang imigran gelap yang akan meminta suaka politik, aku yang sedang cuti panjang, penasaran ingin ikut berlayar dengan kapal berwarna merah itu. Walau aku mampu membeli tiket pesawat terbang, karena ingin bertualang dengan laut, maka aku ikut berlayar bersama empat awak kapal lain anak buah Pak Robert Hamidah.
Mula-mula pelayaran itu sangat indah. Aku mendengarkan musik kesukaanku selama perjalanan. Aku mendapatkan makanan enak di kapal, yang dibeli oleh awak kapal setiap sandar melempar jangkar. Namun, setelah meninggalkan Pulau Tinjii, Banten Selatan, wilayah Samudera Hindia, angin badai datang. Angin berkecepatan tinggi, rata-rata 150 kilometer per-jam.
Karena kecepatan angin yang begitu tinggi, maka gelombang laut pun sangatlah tinggi, membumbung hingga sembilan meter. Kapal pun oleng dan nakhoda kehilangan kendali. Kapten panik dan kapalpun kemasukan angin yang melimpah ruah. Kapal oleng dan terbanting. Tak ayal, kapalpun tenggelam dan 50 penumpang, termasuk anak-anak, masuk ke laut.
Aku pasrahkan hidupku kepada Allah dan berusaha berenang sebisanya untuk menyelamatkan diri. Tetapi berenang di tengah gelombang besar, sangat sulit dan terasa tubuhku tidak bergerak sedikitpun. Aku berdzikir dan terus bermunajat kepada Allah Azza Wajalla memohon keselamatan diri. Allah ternyata mendengar pintaku- Jeritan hatiku didengar dan aku menemukan sebuah drum plastik kecil dan aku memeluk drum plastik warna biru yang biasa digunakan menampung air tawar itu.
Beberapa jam aku terapung di permukaan laut, aku melihat puluhan mayat wanita dan anak-anak yang mengambang. Salah seorang di antaranya, aku perhatikan masih hidup dan aku mengajaknya untuk bergelayutan di drum. Wanita remaja itu bergelayut bersamaku di drum dan kutekan punggungnya, agar dia muntahkan air di dalam perutnya dan diapun muntah air laut. Setelah muntah, dia agak kuat bersamaku memegang drum dan kami terus terapung, tidak tahu entah ke mana arahnya. Gadis yang belakangan kuketahui bernama Laila Mumtaz itu, telah kehilangan kedua orangtuanya, berikut adiknya yang masih balita. Dia terus-terusan menangis namun aku berusaha meneduhkan perasaan sedihnya. Begitu dia melihat mayat ibu. ayah dan adiknya, dia berusaha meraih tiga mayat itu. Akun berusaha membantu, tetap gagal. Gelombang laut membawa tiga mayat itu ke arah lain, dan kami pun kehilangan pandangan.
Tiga mayat itu dibawa ombak dan menghilang dari pandangan kami. Drum yang kami naiki terpontang panting, terus didorong oleh angin badai menuju ke arah yang tidak jelas. Malam pun tiba dan keadaan laut menjadi gelap gulita. Sementara itu, gelombang mengecil, ombak mereda dan lautpun menjadi tenang.
Untunglah, malam itu muncul bulan yang terang dari timur. Bulan itu terus merangkak dan menerangi laut. Kami berdua terus mengapung, sambil berdoa dengan cara masing-masing. Namun Laila Mumtaz berdoa sambil terus menangis. Dia sangat sedih kehilangan orangtua dan adiknya, bahkan dia ingin mati pula bersama mereka.
Pada saat Laila Mumtaz menyatakan ingin ikut orangtua, mati bersama di laut Samudera Hindia itu, tiba-tiba aku melihat sirip ikan hiu mendekati kami. Aku mengajak Mumtaz untuk menyelamatkan diri dengan menghalau hiu besar itu. Namun, Mumtaz tidak mau menghalau, bahkan dia seakan menyerahkan dirinya kepada hiu.
Benar saja. di tengah sinar bulan purnama terang, aku melihat dengan kasat mata, Mumtaz ditelan hiu. Mumtaz ditelan bulat-bulat di depan mataku dan aku melihat dia dibawa ke dasar laut.
Jantungku berdebar-debar hebat dan pikiranku tiba mengambang. Antara rasa sedih kehilangan Mumtaz dan rasa takut bekecamuk hebat di dalam diriku. Aku terus memegang erat drum biru itu dan berusaha sebisa mungkin mengayuhkan kaki, agar drum bergerak walau hanya sedikit.
Sebagai wanita yang lemah, aku yang sejak kecil hobby bertualang menjemput tantangan, malam itu berusaha bangkit walau aku dalam keadaan terpuruk.Ayah dan ibuku, ketika mereka masih hidup. selalu jengkel dengan kegiatanku bertualang ini. Mereka marah sekali kalau aku naik gunung, memanjat tebing dan mancing di laut. Aku selalu dilarang karena aku wanita sementara teman-temanku semuanya pria.
Mama lebih dulu meninggal. Lalu papaku memilih hidup menduda dan tidak mau menikah lagi. Saat aku bekerja di Maladewa dengan Pak Robert Hamidah temannya, papaku menyusui mama. Papa meninggal karena sakitjantung di rumah sakit Harapan Kita Jakarta.
Sejak mama dan papa ku wafat. aku jarang pulang ke Jakarta. Rumah peninggalan papa dijual oleh abangku tertua, Bang Hengky Truman, yang penjudi dan pemabok. Hubunganku dengan Bang Hengky tidak begitu baik, maka itu aku malas ke rumahnya bila aku pulang ke indonesia. Aku lebih suka ke rumah Tante Ema, adik mamaku yang tinggal di Metro, Lampung Tengah.
Kini aku terapung-apung di laut dan tertidur karena lelah. Ombak sudah mulai tenang dan bulan purnama beranjak ke barat. Aku tertidur pulas dalam keadaan mengapung di atas drum. Ketika bulan berganti matahari di timur, aku terjaga dan aku mendekati sebuah pulau kecil- Pulau itu adalah pulau kosong yang hanya ditumbuhi pohon-pohon perdu dan bakau yang rimbun. Pulau tersebut ternyata Pulau Dili, pulau kecil di barat Pulau Tinjil, Banten Selatan.
Dalam keadaan lemas karena terapung 24 jam di laut, aku mengayuh sebisa kakiku untuk mencapai pulau. Karena dorongan ombak, aku mencapai Pulau Dili dan merebahkan diriku ke pasir pantai.
Aku melihat ke kiri dan ke kanan, mencari manusia yang mungkin bisa menolongku yang lemah dan lemas. Tetapi pulau itu benar-benar pulau kosong yang tidak berpenghuni. Pulau itu hanya sesekali disinggahi nelayan, pemancing dan kapal- kapal kecil penangkap ikan.
Aku didekati oleh beberapa biawak besar penghuni Pulau Dili. Biawak itu mungkin mengira aku makanan enak yang siap untuk disantap. Namun, ketika aku menggerakkan kaki, puluhan biawak itu....
Oleh : Tia Aweni D.Paramitha | Misteri
Lanjut Ke Bagian-2
majalah misteri majalah misteri cerita misteri kisah misteri majalah misteri cerita misteri kisah misteri majalah misteri cerita misteri kisah misteri majalah misteri cerita misteri kisah misteri majalah misteri cerita misteri kisah misteri